Transcription

Desember 2017KAJIAN TERHADAPRENCANA AKSI NASIONALUNTUK DESAIN KEBIJAKAN INKLUSIFADAPTASI PERUBAHAN IKLIMDI WILAYAH PESISIR INDONESIALAPORAN BERSAMADisusun oleh:

Tentang LaporanLaporan ini merupakan hasil kerjasama antara LIPI,UNESCO, UI dan UGM di dalam kegiatan MOST(Management of Social Transformation Program) yangmenyatukan perwakilan dari pemerintah, dan akademisiuntuk berkolaborasi dalam mengkaji Rencana Aksi Nasionaluntuk Desain Kebijakan Inklusif Adaptasi Perubahan Iklim diWilayah Pesisir Indonesia.Ucapan Terima KasihSecara khusus kami menghargai dan berterima kasihatas arahan, dukungan dan masukan berharga dariUNESCO dan Komite Penasehat.UNESCO:Irakli KhodeliDr. Alexander HauschildKomite Penasehat:Prof. DR. H. Arief Rachman, M.Pd.Dr. Tri Nuke Pudjiastuti, MAKami juga berterima kasih atas kerja keras para penulisuntuk laporan ini:Dr. Deny Hidayati, MA (LIPI); Dr. Dyah RahmawatiHizbaron, MT (UGM); Dr. Hendricus Andy Simarmata (UI);Dr. Sri Sunarti Purwaningsih, MA (LIPI); Gusti Ketut AyuSurtiari, M,Si (LIPI); Utia Suarma, M.Sc (UGM); SyarifahAini Dalimunthe, M.Sc (LIPI); Luh Kitty Katherina, MT(LIPI); Jane Kartika Propiona,M.Si (LIPI)Kami juga mengucapkan terima kasih kepada institusi-institusi yangsudah berkontribusi:BMKG, BNPB, Kementerian Sosial, BAPPENAS dan Sekretariat RAN APITerima kasih juga kami ucapkan kepada para penterjemah tulisan:Dwiyanti Kusumaningrum, M.Sc (LIPI); Ari Purwanto Sarwo Prasojo, SSi(LIPI); Puji Hastuti, S.Sos (LIPI)Sitasi yang direkomendasikan:Hidayati, D., dkk (2017). Penilaian terhadap Rencana Aksi Nasional untuk DesainKebijakan Inklusif Adaptasi Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir Indonesia. Jakarta: LIPI.

Kata PengantarDalam jangka panjang - jika PRB tidakmengarusutamakan perlindungan sosial sebagaisebagai metode utama yang berazas inklusi sosial;maka inisiatif untuk mengurangi kerentananberpeluang untuk mengalami kegagalan.Perubahan iklim telah merusak tatanan hak asasi manusia atas peluang untukmemperoleh sumber pangan dan air, akses terhadap kepemilikan tempat tinggaldan kesempatan untuk hidup sehat. Secara umum penduduk rentan terhadapdampak perubahan iklim, namun penduduk miskin dan terpinggirkan adalahkelompok yang paling rentan. Oleh karena itu desain kebijakan inklusif merupakankebutuhan mendesak untuk mengurangi kerentanan dan untuk mencapai keadilandalam menghadapi ancaman perubahan iklim.Kajian terhadap rencana aksi nasional untuk desain inklusif adaptasi perubahan iklimmengintegrasikan temuan dan tindakan yang saat ini diterapkan oleh pemerintahIndonesia pada berbagai lini. Tujuan dari laporan ini adalah untuk menilai rencana aksinasional untuk adaptasi perubahan iklim di Indonesia (RAN-API). Penilaian inimenggunakan kerangka analisis UNESCO dalam pandangan penyusunan desainkebijakan yang inklusif. Lebih lanjut, laporan ini menyoroti kebutuhan untuk membagirata manfaat serta kewajiban penanggulangan yang terkait dengan adaptasiperubahan iklim. Tentu saja menekankan pada aspek keseimbangan dan keadilan.Pada akhir laporan ini, disarankan RAN-API untuk mempertimbangkanpengarusutamaan inklusi sosial didalam laporan yang akan datang .Laporan ini terwujud berkat kerja keras, dedikasi dan komitmen beberapa ahli danilmuwan Indonesia yang mewakili berbagai disiplin ilmu. Selanjutnya, kami inginmengucapkan terima kasih kepada UNESCO, UI, dan UGM yang dengan antusiasmengambil tantangan besar untuk menghasilkan laporan di antara kesibukantugas-tugas lain.Jakarta, Desember 2017Sekretriat MOST LIPI

Daftar Isi

11. PendahuluanSebagai negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan penduduk lebih dari250 juta jiwa, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap bencana diwilayah pesisir dengan jutaan penduduk yang hidup di wilayah pesisir. Hal ini didukungdengan fakta bahwa banyak penduduk yang bergantung pada sektor perikanan yangmenjadikan Indonesia memiliki Coast at Risk Index yang tinggi (Beck, 2014). Statistikkebencanaan dari Centre for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED)jugamengkonfirmasi evaluasi risiko ini. Terkait dengan korban jiwa, dampak tertinggi adalah daribencana tsunami (khususnya pada kejadian tsunami tahun 2004) dengan jumlah korban jiwatercatat mencapai 17.000 sejak tahun 1900. Banyak bahaya iklim di daerah pesisir yang biladikaitkan dengan kegiatan pembangunan yang tidak tepat, akan diperburuk oleh dampakperubahan iklim, khususnya kenaikan permukaan air laut (Ward dkk., 2012). Tren danproyeksi yang ada menunjukkan bahwa permukaan laut akan naik 40 cm 20 cm dan 56 cm 32 cm pada tahun 2050 dan 2080. Jika tren ini benar, kita dapat meramalkan kenaikanpermukaan laut sebesar 80 cm 40 cm pada akhir abad ini (ICCSR, 2010).The World Risk Report tahun 2014 menginformasikan bahwa Indonesia berada di peringkat34 dalam daftar yang terdiri dari 171 negara dalam hal risiko terhadap berbagai bencanadengan tingkat risiko dan keterpaparan yang "sangat tinggi", kerentanan yang "tinggi",kapasitas mengatasi bencana yang rendah, dan kapasitas adaptasi yang rendah (UNU-EHSdan Alliance Development Works, 2014). Kondisi ini ditandai dengan meningkatnya jumlahbencana, menurut BNPB (2014) sekitar 10 persen selama 10 tahun terakhir, kondisi inimenyebabkan korban bencana dengan jumlah yang besar, terutama kelompok rentan sepertibayi, wanita, dan manula. BNPB pada tahun 2015 juga mencatat bahwa sekitar 155 orangmeninggal per tahun, 10.518 orang luka-luka, dan 300.630 orang dievakuasi selama periodeini. Bencana tersebut tidak hanya mengancam jiwa manusia tapi juga mengganggu matapencaharian mereka, terutama masyarakat miskin dengan kondisi sosial ekonomi yangrendah.Kenaikan permukaan laut akan memiliki efek yang tidak proporsional terhadap populasibesar yang tinggal di dataran rendah (Brown, 2007), dan faktor ekonomi memainkan perananyang penting dalam merespons bencana, di mana negara-negara berkembang merupakanyang paling rentan karena kurangnya sumber daya untuk mencegah, merespons danmengatasi dampaknya (IOM, 2009, Drabo dan Mbaye, 2011). Di Pantai Utara Jawa misalnya,pada tahun 2014, abrasi atau erosi garis pantai terjadi sepanjang 745,41 kilometer atau 44%dari keseluruhan garis pantai yang mengikis area seluas 12.878,53 hektar (BNPB, 2015).Dampak dari perubahan iklim diduga memiliki dampak negatif yang signifikan terhadapmasyarakat pada dekade berikutnya, yang di beberapa daerah berpotensi membalikkankemajuan pembangunan manusia beberapa tahun ke belakang (IPCC 2014). Hal ini dapatmenjerumuskan masyarakat ke dalam kemiskinan dan memaksa mereka untuk menerapkanstrategi penanganan negatif seperti menjual aset, membawa anak-anak keluar dari sekolah,mengurangi asupan makanan ke tingkat yang tidak sehat, dan lain-lain. Risiko masyarakat

2miskin akan kehilangan nyawa dan penghidupan selama bencana atau perubahan iklim(seperti degradasi lahan atau penurunan ketersediaan air) juga meningkat. Terdapat hubunganantara perubahan iklim dan perubahan lingkungan terhadap migrasi (Brown, 2007, Adgerdkk., 2002, Massey dkk., 2010, Oliver-smith dkk., 2009). Karena terbatasnya kesempatankerja, banyak orang di Indramayu - sebuah kabupaten di Pantai Utara Jawa - telahmeninggalkan sementara pekerjaannya, mengubah pekerjaan mereka atau menemukanpekerjaan di tempat lain. Ada kecenderungan yang meningkat yang terlihat sebagai responsterhadap ketidakpastian akibat perubahan iklim dan lingkungan. Sehingga muncul kebutuhanmendesak untuk mengembangkan sebuah pendekatan baru untuk kebijakan pro-kaum miskinyang harapannya akan membantu kelompok yang paling rentan untuk bisa beradaptasi danberkembang di tahun-tahun mendatang (Heltberg dkk. 2010).Pemerintah Indonesia menyetujui fenomena ini dan berusaha untuk mengatasi masalah ini,antara lain dengan mengembangkan rencana aksi nasional untuk adaptasi perubahan iklim,pengelolaan kebakaran hutan secara terpadu, dan penandatanganan Paris Agreement.Keseriusan pemerintah dalam mengelola perubahan iklim juga ditunjukkan denganmemasukkan rencana aksi nasional untuk adaptasi perubahan iklim dalam RencanaPembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang mempromosikanpemerintah provinsi dan kabupaten / kota untuk membuat rencana aksi untuk adaptasiperubahan iklim di dalam rencana pembangunan mereka. Rencana Aksi Nasional AdaptasiPerubahan Iklim - RAN API) telah diluncurkan oleh Kementerian Perencanaan PembangunanNasional (Bappenas) pada bulan Februari 2014.Rencana aksi nasional untuk adaptasi perubahan iklim - RAN-API lebih fokus pada aspekfisik, lingkungan dan teknis, namun masih kurang memperhatikan aspek sosio-ekonomi danbudaya, terutama bagi masyarakat rentan dan tidak termasuk di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil. Oleh karena itu, perancangan pertimbangan untuk rencana tindakan inklusifadaptasi perubahan iklim (API) sangat diperlukan untuk mencapai inklusi sosial dalamrencana aksi nasional ini.Kebutuhan akan inklusi sosial dalam pengurangan risiko bencana (PRB) bukanlah hal baru;hal ini telah disorot dalam Strategi Yokohama, HFA dan sekarang di Sendai Framework forAction, sebuah kerangka kerja pasca-2015 untuk PRB. Kondisi hidup yang buruk,infrastruktur yang tidak memadai, kurangnya diversifikasi pendapatan dan layanan terbatas,terutama pendidikan dan informasi, memastikan bahwa masyarakat termiskin dan palingterpinggirkan tidak terpengaruh secara proporsional oleh bencana tersebut. Komitmen untukmengatasi penyebab dan meningkatkan kemampuan serta memfasilitasi pemberdayaan harusmenjadi titik kuat dalam hal inklusi sosial dalam konteks PRB. Namun, pendekatan untukmengurangi kerentanan kemungkinan tidak cukup dalam jangka panjang - jika PRB tidakmencakup perlindungan sosial sebagai alat yang berasal dari inklusi sosial yang terisolasi satusama lain.

3TujuanKegiatan ini bertujuan untuk mereview rencana aksi nasional adaptasi perubahan iklim diIndonesia (RAN-API) dengan menggunakan Kerangka Analisis UNESCO untuk perumusankebijakan inklusif. Review ini menghasilkan pertimbangan desain penyertaan aspek sosialuntuk RAN-API yang inklusif. Tujuan khusus meliputi pengembangan:1. Pertimbangan desain untuk dimensi 1 dari inklusi, berfokus pada multi-dimensi(sosial, kemasyarakatan, politik, budaya dan ekonomi)2. Pertimbangan desain untuk dimensi 2 dari inklusi, berfokus pada relasional3. Pertimbangan desain untuk dimensi 3 dari inklusi, berfokus pada irisan risiko danpemicu4. Pertimbangan desain untuk dimensi 4 dari inklusi, berfokus pada dinamika5. Pertimbangan desain untuk dimensi 5 dari inklusi, berfokus pada kontekstual danmulti-layered, dan6. Pertimbangan desain untuk dimensi 6 dari inklusi, berfokus pada partisipatif.MetodeKajian ini dilakukan berdasarkan pada tinjauan ulang rencana aksi untuk adaptasi perubahaniklim (RAN-API), dengan fokus pada ketahanan wilayah khusus yaitu wilayah pesisir danpulau-pulau kecil. RAN-API terdiri dari 5 klaster dan masing-masing klaster memiliki 3-6rencana aksi (lihat penjelasan no 3). Kajian ini didasarkan pada Kerangka Analisis UNESCOuntuk perancangan kebijakan inklusif yang terdiri dari 6 dimensi yaitu risiko, penggerak,pengendali multi-dimensi, relasional, intersectional, dinamis, kontekstual dan multi-layered,dan partisipatif (lihat penjelasan nomor 2).Kajian dilakukan melalui proses yang meliputi 6 tahap. Tahap pertama adalah memilih topikutama dan area kajian. Pemilihan yang didasarkan pada isu penting dan urgensi isu inklusifsosial yang sesuai dengan isu utama MOST. Maka dari itu, kajian ini memutuskan untukmemilih perlindungan sosial terpadu dan pengurangan risiko bencana di wilayah pesisir.Tahap kedua adalah memilih kebijakan spesifik atau rencana aksi nasional untuk ditinjaumenggunakan Kerangka Analisis UNESCO untuk perancangan kebijakan inklusif. Tinjauankebijakan, program dan rencana tindakan aksi yang relevan telah dilakukan dan hasilnyatelah dipresentasikan dalam Lokakarya MOST-UNESCO pada tanggal 28 Agustus 2017.Setelah lokakarya tersebut, Kelompok Kerja Nasional MOST berdiskusi mengenai hasilpeninjauan ini dan memutuskan untuk memilih Rencana Aksi Nasional Adaptasi PerubahanIklim - RAN-API) untuk ditinjau. Dalam diskusi ini, kelompok kerja yang dihadiri olehperwakilan LIPI, Kementerian Sosial, Kemensos, Badan Meteorologi, Klimatologi danGeofisika (BMKG), Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada (UGM) jugasepakat bahwa kajian tersebut akan dilakukan oleh semua anggota kelompok kerja.Kelompok ini kemudian dibagi menjadi enam sub kelompok yang sesuai dengan jumlahdimensi kerangka kerja. Disepakati juga bahwa 6 sub kelompok terdiri dari 6 institusianggota kelompok kerja Most. Setiap institusi (2 orang) akan meninjau satu dimensi, sebagai

4berikut: LIPI untuk Dimensi 1, Kemensos untuk Dimensi 2, BMKG untuk Dimensi 3,Universitas untuk Dimensi 4, UI untuk Dimensi 5 dan UGM untuk Dimensi 6.Tahap ketiga adalah diskusi kelompok kerja tentang bagaimana menilai RAN-API dalamketahanan wilayah khusus dengan menggunakan Kerangka Kerja UNESCO untukperancangan kebijakan inklusif. Semua anggota kelompok kerja, kecuali dari universitasuntuk dimensi 4, berpartisipasi aktif dalam diskusi ini. Kelompok ini sepakat untukmengembangkan format matriks, yang berisi rencana aksi nasional untuk adaptasi perubahaniklim (RAN-API) dan indikatornya, serta spekulan kebijakan dan pertimbangan desain.Tahap keempat adalah meninjau dan mengembangkan pertimbangan desain untuk setiaprencana tindakan masing-masing klaster RAN-API. Pengembangan pertimbangan desaindidasarkan pada penanda kebijakan inklusif untuk dimensi tertentu. Setiap institusi memilikitanggung jawab untuk melakukan tugas ini berdasarkan dimensi yang telah disepakatisebelumnya. Namun, dalam implementasinya, hanya LIPI, UI dan UGM yang melaksanakantugasnya. Oleh karena itu, LIPI harus mengambil alih tugas-tugas lain dari perwakilanKemensos (Dimensi 2), BMKG (Dimensi 3), dan Universitas (Dimensi 4).Tahap kelima adalah merangkum pertimbangan desain dari semua penanda RAN-APIinklusif untuk semua kelompok di setiap dimensi. Tahap terakhir adalah menganalisis secarasingkat pertimbangan desain untuk setiap dimensi RAN-API inklusif di wilayah pesisir danpulau-pulau kecil.2. Kerangka Analisis UNESCO untuk Desain Kebijakan InklusifKerangka Analisis UNESCO untuk Desain Kebijakan Inklusif ditujukan untuk mendukungpengembangan sosial inklusif dan agenda kebijakan terkait, sehingga lebih inklusif,berkeadilan dan berorientasi pada kebijakan SDGs. Kerangka kerja ini terdiri dari 6 dimensieksklusi dan inklusi yaitu pendekatan multi dimensi, relasional, kelompok dan individu,dinamis, kontekstual dan multi level dan partisipatif.Dimensi 1: Multi-dimensi berfokus pada proses yang mempengaruhi inklusi sosial, termasukproses kewarganegaraan, budaya, ekonomi, politik dan sosial. Dimensi ini memiliki 4penanda kebijakan inklusif: 1) tujuan transversal dan menyeluruh, penanda ini menunjukkaninklusi adalah kebijakan yang eksplisit dan lintas sektoral, 2) kontinum intervensi, melaluiintervensi terpadu dan terkoordinasi, 3) inovasi sektor publik yang mendukung capaiansosial, dan 4) bukti yang terintegrasi dan sensitif terhadap kebijakan, ketersediaan data yangterintegrasi dan sensitif terhadap kebijakan, dan data yang seimbang. Setiap penandakebijakan memiliki pertimbangan desain yang berbeda yang perlu diperhitungkan di setiapdimensi.Dimensi 2: Karakter relasional yang mencerminkan 4 penanda kebijakan inklusif. Yangpertama adalah tentang persamaan/kesetaraan kesempatan dan hasil, yang berurusan denganpenyebab inklusi sosial, yaitu kesetaraan dengan layak yang tidak hanya memberikankesempatan yang sama, dan berkonsentrasi pada tujuan jangka panjang. Yang kedua adalahpemberian layanan dan penyerapan serta akses yang memadai, penyediaan dan penerimaan

5layanan publik dan akses layanan publik, dan penyebab rendahnya penyerapan dan masainklusi. Yang ketiga adalah distribusi pengeluaran publik dengan pertimbangan desain diantaranya pengalihan sumber daya, distribusi manfaat kelompok, kesadaran masyarakat dannilai kepada masyarakat luas. Yang keempat adalah hubungan antara mayoritas dankelompok yang tereksklusi, yang menargetkan semua pihak dan dialog yang berarti.Dimensi 3: Irisan risiko dan pemicu yang berfokus pada pendekatan berbasis kelompok danindividu. Dimensi ini terdiri dari 5 penanda kebijakan inklusif. Yang pertama adalah risikoeksklusi dengan pertimbangan desain mencakup kondisi kelompok dan karakteristik individudan eksklusi sosial, risiko umum yang tidak secara eksklusif mengancam kelompok yangtereksklusi secara tradisional. Yang kedua adalah menghapuskan fakto-faktor penyebabeksklusi, dengan mempertimbangkan pemicu eksklusi secara struktural, perilaku dankebijakan terkait; dan bottleneck serta celah potensi eksklusi. Yang ketiga yaitu rancangankebijakan yang disesuaikan dan pemberian layanan dengan pertimbangan desain dengankebutuhan dan preferensi penerima manfaat yang dituju dan intervensi yang sesuai. Yangkeempat adalah analisis efek kebijakan yang berbeda dan terdistribusi, yang mengingat risikolintas sektoral dan konsekuensi kelompok dan kategori. Kelima yaitu cakupan dan kedalamanintervensi dengan pertimbangan desain di antaranya intensitas, struktur dan persistensieksklusi, jenis risiko dan faktor penyebab, dan kedalaman cakupan.Dimensi 4: Dimensi dinamis berfokus pada proses dari keadaan masyarakat saat ini,intervensi inklusi sosial untuk melawan eksklusi sosial dan tujuan utama. Dimensi ini terdiridari tiga penanda kebijakan inklusif. Penanda pertama adalah built-in duration denganpertimbangan desain meliputi persistensi eksklusi, data panel atau longitudinal, dan analisishistoris dan kontekstual. Penanda kedua yaitu karakter jangka panjang dan antisipatif denganpertimbangan desain dengan bidang non linier, kebutuhan yang baru muncul, dan penentuankebijakan antisipatif. Penanda terakhir adalah fungsi proaktif dan reaktif, denganmempertimbangkan intervensi tahap awal dan tindakan reaktif.Dimensi 5: kontekstual dan multi-layered menunjukkan konteks dan tingkat dimulai darimikro (individu dan rumah tangga) hingga meso (lingkungan dan masyarakat) dan makro(negara-negara bangsa dan kawasan global). Dimensi ini terdiri dari dua penanda kebijakaninklusif. Penanda pertama adalah koherensi dan koordinasi dalam negara denganpertimbangan desain yang berfokus pada koordinasi horizontal, koherensi kebijakan,koordinasi vertikal dan kapasitas dan kecocokan kelembagaan di semua tingkat. Penandaterakhir adalah koordinasi regional dan sub-regional dengan mempertimbangkan mekanismesoft law dan instrumen yang tidak distandarisasi.Dimensi 6: Partisipatif berkonsentrasi pada partisipasi masyarakat yang tereksklusi secarasosial dalam pembangunan, perencanaan, penganggaran, implementasi, dan pemantauan.Dimensi ini terdiri dari dua penanda kebijakan inklusif, peningkatan prosedural danpartisipasi transformatif. Pertimbangan desain untuk peningkatan prosedural mencakuppartisipasi sebagai tujuan normatif, di seluruh lingkaran kebijakan, dan kesempatan yangdijamin dan dilembagakan. Sedangkan untuk partisipasi transformatif yaitu kerentanan

6terhadap marginalisasi dalam proses partisipatif, menyamakan konsep, dan kapasitas untukterlibat.3. Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API)Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) dibentuk untuk mendukungimplementasi sistem pembangunan berkelanjutan dan ketahanan atau resiliensi yang tinggiterhadap dampak perubahan iklim. Tujuan utama ini dapat dicapai dengan membangunketahanan ketahanan ekonomi, ketahanan tatanan kehidupan, baik secara fisik, maupunekonomi dan sosial, dan menjaga ketahanan ekosistem serta ketahanan wilayah khusus untukmendukung sistem kehidupan. Adapun tujuan khusus penyusunan dokumen RAN-API ialahuntuk: Memberikan arahan untuk pengarusutamaan isu adaptasi perubahan iklim dalamproses perencanaan pembangunan nasional.Menyediakan arahan bagi aksi adaptasi perubahan iklim sektor, serta aksi adaptasiperubahan iklim terintegrasi (lintas sektor) di dalam perencanaan jangka pendek(2013-2014), jangka menengah (2015- 2019), dan jangka panjang (2020-2025).Menyediakan arahan bagi langkah aksi adaptasi prioritas jangka pendek untukdiusulkan, agar mendapatkan perhatian khusus dan dukungan pendanaaninternasional.Sebagai arahan bagi sektor dan daerah dalam mengembangkan langkah aksi adaptasiyang sinergis dan upaya membangun sistem komunikasi serta koordinasi yang lebihefektif.RAN-API adalah bagian dari Kerangka Pembangunan Nasional di Indonesia. Dalam halpembangunan nasional, RAN-API adalah rencana tematik lintas sektoral yang lebih spesifikdalam mempersiapkan rencana pembangunan yang tahan terhadap perubahan iklim. Adaptasiperubahan iklim di Indonesia ditujukan untuk:1. Penyesuaian usaha dalam bentuk strategi, kebijakan, manajemen, teknologi dan sikap agardampak negatif dapat dikurangi ke tingkat minimum, dan jika memungkinkan dapatmengambil keuntungan maksimal dari dampak positifnya.2. Upaya untuk mengurangi dampak negatif perubahan iklim, baik langsung maupun tidaklangsung, berlanjut atau tidak berlanjut, dan permanen berdasarkan tingkat dampaknya.Strategi dan rencana aksi adaptasi perubahan iklim berfokus pada lima bidang. Bidangpertama adalah ketahanan ekonomi, terdiri dari dua rencana aksi, yaitu sub bidangkemandirian pangan dan energi. Bidang kedua adalah ketahanan sistem kehidupan, terdiridari tiga rencana aksi, yaitu sub bidang kesehatan, permukiman dan infrastruktur. Bidangketiga adalah ketahanan ekosistem. Keempat adalah ketahanan daerah khusus, yang terdiridari dua rencana aksi, dengan sub bidang perkotaan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.Tema terakhir adalah sistem pendukung.

7Kajian ini hanya berfokus pada ketahanan daerah khusus, terutama wilayah pesisir dan pulaupulau kecil. Untuk fokus sub bidang ini, RAN-API terdiri dari 5 klaster. Klaster 1 adalahpeningkatan kapasitas kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang terkaitdengan isu perubahan iklim. Klaster ini berisi 4 rencana aksi yaitu sosialisasi dan kesadaranmasyarakat terhadap fenomena dan dampak perubahan iklim, pengembangan pemanfaatansumber daya untuk masyarakat pesisir dan pulau kecil, pemeliharaan dan rehabilitasi sumberdaya air di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan pengembangan infrastruktur (jaringantransportasi, listrik, air bersih, dan komunikasi) di pulau-pulau kecil dan terpencilmenggunakan teknologi tepat guna.Klaster 2 berfokus pada pengelolaan dan pendayagunaan lingkungan dan ekosistem untukadaptasi perubahan iklim. Klaster ini terdiri dari 3 rencana aksi yaitu rehabilitasi dan adaptasilingkungan yang perlu untuk diakomodasi, memelihara dan merehabilitasi kawasan lindungnon-struktural dan sekitarnya, serta pengelolaan ekosistem di wilayah pesisir / pulau kecilseperti mangrove, lahan basah, hamparan rumput laut, muara, dan terumbu karang.Klaster 3 berfokus pada penerapan tindakan adaptasi struktural dan non struktural untukmengantisipasi ancaman perubahan iklim. Klaster ini berisi 5 rencana aksi yaitupengembangan Coastal Resilience Village (CRV) atau Desa Pesisir Tangguh, memberikanbantuan sarana dan prasarana dalam pengembangan pulau-pulau kecil, melakukan identifikasiserta penyesuaian elevasi dan penguatan struktur bangunan dan fasilitas vital, seperti jalan,dermaga pelabuhan, dan permukiman masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,meningkatkan ketahanan sumber daya pertanian dan tambak pesisir terhadap ancamanperubahan iklim dan mengidentifikasi, pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindungpantai.Klaster 4 adalah tentang pengintegrasian upaya adaptasi ke dalam rencana pengelolaanwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Klaster ini terdiri dari 6 rencana aksi yaitu identifikasidan pemetaan potensi pulau-pulau kecil, penyusunan norma, standar, pedoman dan kriteria(NSPK), rehabilitasi dan adaptasi perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,penilaian risiko perubahan iklim dan adaptasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,melakukan penelitian dan pemetaan tentang risiko perubahan iklim dan adaptasi sektor / subsektor di tingkat kabupaten/kota, penyiapan dokumen perencanaan tata ruang danpengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan hasil penilaian risiko danadaptasi perubahan iklim, dan pengawasan, dan pengendalian serta supervisi untuk strukturdan zonasi pesisir dan perairan terhadap perubahan iklim.Klaster 5 berfokus pada peningkatan sistem pendukung adaptasi perubahan iklim di wilayahpesisir dan pulau-pulau kecil. Klaster ini berisi 4 rencana tindakan yaitu peningkatanpenelitian dan penilaian sumber daya pesisir, peningkatan kapasitas penelitian yang berkaitandengan fenomena dan dampak perubahan iklim di pesisir dan pulau-pulau kecil,pengembangan sistem peringatan dini yang berkaitan dengan bencana iklim dan oseanografi,dan penguatan organisasi serta koordinasi lintas sektor untuk mitigasi dan adaptasi di pesisirdan pulau-pulau kecil.

84. Pertimbangan Desain RAN-API Inklusif di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil4.1 Dimensi 1Satu dari enam dimensi yang mendukung kebijakan inklusif yaitu aspek multi-dimensi.Multi-dimensi adalah representasi dari konsensus umum antara pelaku kebijakan, akademisidan publik mengenai pentingnya dimensi terpadu untuk kebijakan inklusif (UNESCO, 2015).Perspektif multi-dimensi terdiri atas dimensi sosial, kemasyarakatan, politik, budaya danekonomi (UNESCO, 2015). Selanjutnya, aspek multi-dimesi dapat dieksplor melalui 4penanda kebijakan yaitu: 1) tujuan transversal dan menyeluruh 2) kontinum intervensi 3)inovasi sektor publik, dan 4) fakta/bukti yang terintegrasi dan sensitif terhadap kebijakan.Penanda-penanda tersebut dapat diimplementasikan dalam layanan sosial, kehidupanekonomi, dan jejaring sosial dan partisipasi. Pengabaian salah satu dari penanda tersebutdapat menimbulkan dan meningkatkan marjinalisasi.Kebijakan inklusif berprinsip untuk tidak meninggalkan siapa pun di belakang, hal inijuga menjadi prinsip Sustainable Development Goals (SDGs). Prinsip ini menekankanperlunya melibatkan semua kelompok masyarakat yang berbeda, termasuk kelompok rentandan kelompok disabilitas untuk mendapatkan manfaat dari program pembangunan.Kebutuhan untuk mempertimbangkan kelompok rentan dan kelompok disabilitas menjadilebih mendesak terkait tantangan dampak negatif perubahan iklim. Studi lanjutanmenunjukkan bahwa perubahan iklim telah memicu bencana yang dahsyat dengan kerugiandan kerusakan yang signifikan. Kelompok rentan adalah kelompok yang paling terkenadampak karena kurangnya kapasitas untuk merespons risiko bencana.Bagian ini berfokus pada analisis rencana nasional untuk adaptasi terhadap perubahan iklim(NAPA) khususnya untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. NAPA telah dikembangkandi Indonesia tahun 2014 dan mulai diimplementasikan di beberapa daerah percontohan diseluruh Indonesia selama setahun terakhir. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dipilihsebagai fokus utama untuk mengikuti prioritas nasional yang memperhatikan masalahkelautan. Setelah proyek percontohan pertama, saat ini, NAPA masih dalam prosespeninjauan untuk memperkuat tujuan adaptasi. Selain itu, revisi NAPA sejalan dengankomitmen nasional saat ini untuk menerapkan dan mencapai semua sasaran SustainableDevelopment Goals (SDGs) dan komitmen untuk mengimplementasikan Sendai Frameworkuntuk pengurangan risiko bencana. Versi baru NAPA idealnya harus mempertimbangkankerangka kerja utama SDGs dan Sendai Framework. Oleh karena itu, analisis ini pentinguntuk mendukung proses revisi terutama dalam proses inklusifitas.Dalam laporan ini, analisis isi disajikan sebagai metode untuk analisis. Semua programNAPA dianalisis secara rinci dengan menggunakan indikator dari kerangka kerja UNESCO.Ada lima kelompok program adaptasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terutamabertujuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat setempat dan infrastrukturnya untukmerespons risiko terhadap perubahan iklim. Menariknya, strategi adaptasi telahmempertimbangkan integrasi antara manajemen lingkungan, manajemen risiko bencana dan

9adaptasi perubahan iklim. Namun, integrasi masih fokus pada unit fisik spasialnya saja danmasih perlu mempertimbangkan masyarakat sebagai fokus utama dari program.Secara umum, program NAPA telah mempertimbangkan people-centered yang berarti lebihberfokus pada masyarakat sebagai salah satu kelompok rentan. Secara keseluruhan, programdimulai dari peningkatan kapasitas masing-masing individu untuk merespon dampakperubahan iklim hingga peningkatan infrastruktur untuk membangun ketahanan atauresiliensi. Selain itu, program untuk menyediakan database dan pemetaan risiko juga cukuppenting bagi pembuat kebijakan untuk mengembangkan kebijakan inklusif. Namun,berdasarkan perspektif dimensi pertama, ada beberapa tantangan terutama dalam halkeberlanjutan program yang terkait dengan inovasi penganggaran dan teknologi untukmendukung sistem database inklusif di daerah-daerah terpencil di wilayah pulau-pulau kecil.Pengembangan kapasitas terutama menyebarkan informasi dan pengetahuan tentangperubahan iklim penting untuk mempersiapkan aksi untuk jangka panjang. Penelitian pertamatentang pemetaan pengetahuan dan kesadaran di antara kelompok rentan yang dilakukan olehLIPI dan BMKG yang didukung oleh ICCTF menunjukkan bahwa meningkatnyapengetahuan tentang perubahan iklim akan mengurangi kerugian pada kegiatan pertanian danperikanan (Hidayati et al, 2010). Namun, mekanisme penyampaian informasi danpengetahuan perlu bersifat sangat spesifik dan spesifik secara lokal. Integrasi antarapengetahuan lokal dan bukti ilmiah memberikan informasi yang kuat kepada masyarakatrentan. Rincian review NAPA untuk program yang lebih inklusif akan disajikan sebagaiberikut.Pertimbangan Desain yang Perlu Diakomodasi dalam Rencana Aksi API1. Tujuan transversal dan menyeluruhPertimbangan desain pertama dalam aspek multidimensi adalah tujuan transversal danmenyeluruh. Pertimbangan desain ini mewakili sistem atau portofolio intervensi, sup

Surtiari, M,Si (LIPI); Utia Suarma, M.Sc (UGM); Syarifah Aini Dalimunthe, M.Sc (LIPI); Luh Kitty Katherina, MT (LIPI); Jane Kartika Propiona,M.Si (LIPI) Sitasi yang direkomendasikan: Hidayati, D., dkk (2017). Penilaian terhadap Rencana Aksi Nasional untuk Desain Kebijakan Inklusif Adaptasi Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir Indonesia.